Menjelang siang tengah hari, mendung masih menggelanyut ketika Junaidi merapikan satu lajur bedengan yang ditanami bibit cabai Hiyung pada sepetak sawah di Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah, Kabupaten Tapin, pada Selasa, 31 Januari 2023. Seraya menceburkan diri ke air rawa setinggi paha orang dewasa, ia ingin memastikan bibit cabai yang dibalut mulsa rumput itu tidak rusak selepas pagi hari diguyur hujan.
Begitu mentas dari genangan rawa lebak, kedua kakinya basah kuyup. Nyaris tak ada gurat kelelahan dari pria berusia 53 tahun itu. Junaidi mendahului tanam bibit cabai rawit Hiyung dari waktu yang semestinya. Sebab, bedengan miliknya sebagai media tanam cabai punya ketinggian ideal dari rendaman air rawa. Maklum, petani kerap menunggu air surut saat menanam bibit cabai Hiyung agar tidak terendam.
"Biasanya tanam bulan Maret, menjelang kemarau. Cabai rawit hiyung sukanya di musim kemarau, makin sukses bisa dua kali panen. Kalau musim penghujan satu kali panen. Ini lahan saya sudah tinggi, jadi terpaksa saya tanam duluan,” kata Junaidi, Selasa 31 Januari 2023.
Sebelum bertani cabai, ia menjadi tukang sayur keliling merangkap Sekretaris Desa Hiyung sejak 1992. Menurut Junaidi, asal-usul cabai rawit yang ditanam di Desa Hiyung bermula dari bibit cabai lokal asal Desa Linuh, Kecamatan Bungur. Pada 1980-an, kata dia, sosok Subarjo telah membawa bibit cabai asal Linuh untuk ditanam di lahan rawa lebak Desa Hiyung. Tak disangka, produktivitas cabai rawit ini tumbuh subur.
Junaidi pun mulai kepincut tanam cabai rawit. Alhasil sejak 2009, ia merintis bertani cabai rawit seiring upaya Dinas Pertanian Kabupaten Tapin mendaftarkan varietas lokal cabai rawit Hiyung ke Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian di Kementerian Pertanian.
“Melihat perkembangannya, pemda mendaftarkan cabai rawit lokal itu dinamai cabai rawit Hiyung sesuai nama desanya tahun 2009. Kemudian tahun 2012 keluar sertifikat dengan nama cabai rawit Hiyung. Supaya cabai rawit ini tidak diambil daerah lain,” lanjut pria yang berstatus Ketua Kelompok Tani Karya Baru dan Ketua Asosiasi Petani Cabai Hiyung tersebut.
Apalagi rasa pedas yang khas dari cabai hiyung diminati masyarakat. Kepedasan cabai Hiyung konon mencapai 17 kali ketimbang cabai rawit biasa. Menurut dia, alasan mengapa kepedasan cabai Hiyung di atas rata-rata karena budidayanya tidak ketinggalan kapur, memakai mulsa organik rumput, serta lahan asamnya berkisar 3-4 PH. “Dan faktor alam suatu keberuntungan untuk Desa Hiyung,” ujar Junaidi.
Itu sebabnya, ia mengklaim bibit cabai hiyung yang ditanam di luar Desa Hiyung, cenderung tidak punya tingkat kepedasaan yang sama. Walaupun tanahnya sama di rawa lebak. “Anggaplah dibawa ke Martapura, tetap pedasnya kurang. Itu merupakan rahmat dan karunia kira-kira, keistimewaan Desa Hiyung,” Junaidi melanjutkan.
Sejak saat itu, masyarakat mulai ramai bertani cabai Hiyung karena punya harga tinggi dan peminatnya banyak. Menurut dia, dari 423 kepala keluarga di Desa Hiyung, sekitar 357 kepala keluarga di antaranya bertani cabai Hiyung pada lahan tanam seluas 116 hektare. Adapun sisanya bertani padi.
Jauh sebelumnya, mayoritas masyarakat Desa Hiyung menebang kayu galam dan mencari ikan-ikan rawa. Tingkat kesejahteraan pun rendah karena ketiadaan produk unggulan asal desa setempat. Namun setelah mayoritas bertani cabai hiyung, kesejahteraan masyarakat berangsur merangkak naik.
“Sekarang ini hampir 85 persen petani cabai. Kesejahteraannya 75 persen ada peningkatan. Yang dulunya tidak punya rumah sebaik mungkin, sekarang bisa baik; yang dulunya tidak punya kendaraan, dengan tanam cabai rawit bisa punya kendaraan; yang dulunya tidak punya lahan atau pinjam pakai, sekarang bisa beli lahan,” kata Junaidi.
Satu di antara mereka bernama Badarudin. Ia petani yang kini menunggu daftar antrean naik haji ke Tanah Suci. Lulusan Pondok Pesantren Darussalam Martapura, itu memutuskan bertani cabai rawit sejak 2010 di Desa Hiyung. Dia tanam cabai pada lahan 1,5 hektare. Dengan asumsi harga cabai Rp 70 ribu - 80 ribu per kilogram, Badarudin bisa meraup untung Rp 100 jutaan. Alhasil setelah satu dekade bertani cabai, ia mulai menyetor duit keberangkatan haji. “Hasil becabai ini, pang,” ujar Badarudin.
Junaidi lalu mengkalkulasi keuntungan yang diterima dan kebutuhan biaya tanam cabai Hiyung. Ia punya lahan seluas 1,5 hektare yang ditanami 4.500 pohon cabai hiyung. Dari lahan seluas itu, Junaidi merogoh kocek sekitar Rp 10 jutaan untuk ongkos tanam cabai. Menurut dia, besar-kecilnya ongkos produksi tergantung luas lahan dan pola pemupukan.
“Jika petani boros pupuk bisa Rp 10 juta. Satu pohon sekali panen sekitar 3 ons cabai. Kalau 4.000-4.500 pohon menghasilkan 1,2 ton sampai 1,5 ton cabai rawit hiyung. Untuk penghasilan, kalau 1,5 hektare itu bersihnya sampai Rp 100 jutaan,” ujar Junaidi sambil terkekeh.
Keuntungan tergantung fluktuasi harga cabai dan luas tanam. Pada 2019, Junaidi pernah mendapati harga cabai Hiyung Rp 120 ribu per kilogram di tingkat petani. Adapun sepanjang 2022, kata dia, harga cabai Hiyung paling tinggi Rp 80 ribu per kilogram. Namun pada 2015, harga cabai Hiyung pernah anjlok Rp 6 ribu per kilogram.
Merosotnya harga cabai hiyung saat itu justru momentum bagi petani untuk berkreasi mengolah produk turunan, seperti abon cabai Hiyung, sambal pedas Hiyung, kecap pedas manis cabai Hiyung, dan uyah pencuk cabai Hiyung. Di luar cabai, petani turut mengolah keripik pepaya, abon pepaya, dan keripik pare-pare. Segala macam hasil produksi ini digarap di Rumah Produksi Abon Cabe Hiyung, bantuan dari beberapa donatur.
Kini, ada sebelas kelompok tani di Desa Hiyung. Tujuh kempok tani menekuni tanaman cabai Hiyung, dan empat kelompok sisanya bertani padi. Menurut Junaidi, setiap kelompok tani boleh memanfaatkan fasilitas bantuan demi kesejahteraan bersama. Khusus petani wanita, kata Junaidi, dibentuk kelompok wanita tani yang mengolah produk turunan cabai.
Salasiah, seorang wanita petani, salah satunya. Di kelompok tani, Salasiah ikut mengolah produk sambal, abon, dan merawat pembibitan cabai Hiyung di pekarangan rumahnya. Ia melego bibit cabai Rp 300 – 400 per pohon.
“Bantu-bantu suami menambah kebutuhan rumah tangga, ikut membibit, menyambal,” ujar Salasiah yang menekuni pembibitan cabai Hiyung sejak satu dekade silam.
Sadar atas pamor cabai hiyung yang makin moncer, Pemkab Tapin turut mendaftarkan sertifikat indikasi geografis varietas cabai rawit Hiyung ke Kementerian Hukum dan HAM pada 2019. Sertifikat ini semacam hak paten bahwa cabai Hiyung punya ciri dan kualitas tertentu.
Mengacu indikasi geografis area tanam, maka cabai rawit Hiyung punya dua ciri khas utama: tingkat kepedasan dengan kandungan capsaicin 2.333 – 2.682 part per million (PPM) atau setara 37.329 – 42.911 scoville heat unit (SHU), dan tidak mudah busuk dengan daya simpan 10 - 16 hari. Junaidi berharap budidaya cabai rawit Hiyung lebih optimal dan terorganisir, sehingga dapat memenuhi permintaan pasar secara berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan para petani, dan mengungkit denyut perekonomian desa.
Di tengah potensi yang besar, Junaidi mengakui ada tantangan budi daya cabai rawit Hiyung, seperti penyakit antraknosa, genangan air rawa, dan kebakaran lahan. Ia masih ingat saat kebakaran menghanguskan 9 hektar lahan cabai rawit pada 2015. Menurut dia, solusi atas tantangan itu lewat pembentukan kelompok tani peduli api, penetapan Desa Hiyung sebagai desa tangguh bencana binaan BPBD Tapin, dan pendampingan pola tanam dari Dinas Pertanian Tapin.
Kepala Desa Hiyung, Rahim, membenarkan mayoritas masyarakatnya bertani cabai Hiyung karena mampu mendongkrak kesejahteraan ekonomi. Rahim mengingat dahulu tanah di Desa Hiyung tidak produktif seiring tingginya kadar asam. Alhasil, mayoritas masyarakat bekerja buruh tani ke desa-desa tetangga. “Dulu lahan tandus, tanam padi tanahnya masam enggak bisa. Dulu ikut bertanam di tempat orang, bekerja di lahan-lahan orang,” kata Rahim.
Namun kondisi itu pelan-pelan berubah setelah cabai rawit lokal sukses dibudidayakan di Desa Hiyung. Rahim salut atas dedikasi Junaidi mengenalkan pertanian cabai Hiyung ke masyarakat luas, sehingga membawa berkah bagi warga Desa Hiyung. “Syukur alhamdullilah mengangkat perekonomian masyarakat Desa Hiyung,” lanjut Rahim.
Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Tapin, Nurhaili, menuturkan area tanam cabai rawit Hiyung terus diperluas ke Kecamatan Candi Laras Selatan karena tanah dan geografisnya mirip dengan Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah. Dua kecamatan itu saling bertetangga. Nurhaili menilai budi daya cabai Hiyung tokcer mengungkit kesejahteraan petani dan mengendalikan inflasi di Kabupaten Tapin.
Mengutip data Dinas Pertanian Tapin periode 2013 – 2022, ada kenaikan luas tanam, luas panen, angka produksi, dan produktivitas cabai rawit Hiyung. Pada 2013, luas tanam dan luas panen masing-masing 28 hektar, lalu melonjak ke angka 203 hektar pada 2022. Adapun produksi pada 2013 sebanyak 117,6 ton, lalu melompat ke angka 1.423 ton pada 2022. Untuk produktivitas pun melonjak, dari 42 kuintal per hektar pada 2013, menjadi 70,1 kuintal per hektar pada 2022.
“Setiap tahun pengembanganya 25 hektar. Selain di Tapin Tengah, kami kembangkan di Candi Laras Selatan, sehingga bisa menyeimbangkan tingkat kepedasannya. Di harga yang tinggi sekitar Rp 70 ribu satu kilonya jadi membantu sekali bagi petani,” ucap Nurhaili.
Pihaknya turut membantu penyediaan bibit cabai, pendampingan on farm, serta sarana produksi, seperti pupuk dan obat-obatan. Perihal promosi dan pemasaran cabai rawit Hiyung, kata Nurhaili, Pemkab Tapin melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Perindustrian. “Kami sama-sama SKPD terkait membangun dan membina,” tuturnya.
*Galeri Baru Bantuan Bank Sentral
Bangunan baru seluas kira-kira 6×3 meter itu berdiri di pinggir jalan provinsi ruas Rantau – Marabahan, Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah. Lokasinya persis di seberang Rumah Produksi Abon Cabai Hiyung. Berdiri sejak kuartal empat tahun 2022, galeri ini sebagai etalase yang menjual produk turunan cabai Hiyung dan produk lain asal Kabupaten Tapin.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan mendirikan galeri itu atas usulan kelompok tani dan Dinas Pertanian Tapin. Sebagai mitra utama petani cabai, Bank Indonesia sebelumnya telah mendampingi pertanian cabai rawit Hiyung sejak 2015. “Berkat bantuan Bank Indonesia dibantu galeri,” ucap Junaidi.
Menurut dia, kelompok tani asal kecamatan lain bisa menaruh produk unggulannya di galeri tersebut. Belum setengah tahun berdiri, Junaidi merasa keberadaan galeri sangat memudahkan pemasaran produk buatan petani karena lokasi strategis. Sebelum ada galeri, penjualan produk turunan cabai menumpang di rumah produksi, sehingga kurang menarik.
“Ini kan di jalan provinsi, akhirnya para pembeli, dan pengendara mudah untuk membeli produk unggulan dari Tapin,” lanjut Junaidi. Cara lain menjual produk, mereka memanfaatkan media sosial, market place, dan penjualan ke tamu-tamu Pemerintah Kabupaten Tapin. Ia pun merencakan 50 persen dari hasil panen cabai rawit akan dibuat produk turunan demi menyelaraskan sisi on farm dan off farm.
Selain dibantu galeri, BI Kalsel mendampingi tujuh kelompok tani cabai Hiyung dalam bentuk pelatihan manajemen keuangan, mengikutsertakan kelompok tani saat pameran, pembuatan pupuk organik, dan pembinaan UMKM cabai Hiyung. Junaidi bersyukur aneka program pemberdayaan dari BI Kalsel sangat membantu petani cabai rawit Hiyung.
“Seperti pelatihan BI mengelola keluar-masuk kas kelompok tani, dan BI membantu melalui acara-acara di Kalsel,” tutur Junaidi. Walhasil, sederet ikhtiar kolaborasi itu makin melambungkan pamor cabai rawit Hiyung. Calon pembeli dari luar negeri konon mulai melirik cabai Hiyung.
Junaidi pernah diminta mengirim sampel cabai ke calon pembeli di Jepang. Namun, hingga awal tahun 2023 ini, belum ada realisasi penjualan ekspor. Ia berkata ada beberapa tantangan untuk memenuhi pasar ekspor, seperti kualitas cabai harus sesuai standar dan kontinyu.
“Ekspor belum mampu karena harus kontinyu. Sedangkan cabai rawit Hiyung sukanya di musim kemarau, makin sukses bisa dua kali panen. Kalau musim hujan sulit tumbuh, kecuali bedengan tinggi,” kata Junaidi. Itu sebabnya, petani lebih berfokus memenuhi permintaan pasar lokal cabai rawit.
Rumah galeri berdiri ketika Kantor Wilayah Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan di bawah kepemimpinan Imam Subarkah. Dalam kick off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Kalsel pada 10 September 2022, Imam Subarkah, menjelaskan momentum pemulihan ekonomi Kalsel perlu dioptimalkan lewat berbagai upaya demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara, kata Imam, menjaga kestabilan harga bahan pangan pokok.
“Karena bahan pangan pokok memiliki bobot cukup besar dari komposisi pengeluaran masyarakat, sehingga pengendalian inflasi akan memberikan dampak sosial yang besar untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Imam Subarkah.
Oleh karena itu, BI Kalsel terus mendorong sinergi dan koordinasi menjaga ketersediaan bahan pokok dan stabilitas harga pangan. Kemudian, BI Kalsel mendorong penguatan komunikasi kebijakan untuk membangun kepedulian partisipasi masyarakat dalam menjaga kestabilan harga. (Diananta Putra Sumedi)
Artikel ini juga pernah tayang di banjarhits.com dengan penulis yang sama.