Kredit Penolong Ibu-ibu di Tengah Pandemi

 

Warung kecil beratap seng itu sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Berdiri di kawasan Jalan By Pass RT 01 RW 07 Kelurahan Mabuun, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong, warung ini milik Risma Hidayah.

Awal ia merintis warung, sesosok pria sering melipir ke sana. Alih-alih pesan makan dan minuman, pria itu datang ke warung sekedar menemui Risma. Wanita single parent ini tentu risih, gelisah, dan tak nyaman disambangi lelaki yang sama setiap hari ke lapaknya.

Risma malu dilihat tetangga dan pelanggan ketika pria itu mampir ke warungnya. Maklum, laki-laki ini bukan kekasih Risma, apalagi pelanggan warungnya. Tapi menagih hutang yang dipinjam Risma. Sebagai pemilik warung kecil, Risma kerap pinjam duit lewat rentenir karena persyaratan mudah tanpa ribet.

Resikonya, setiap hari Risma ditagih bayar cicilan hutang plus bunga yang mencekik. Dari pinjaman pokok Rp 1 juta, Risma cuma menerima duit tunai Rp 900 ribu setelah dipotong rentenir Rp 100 ribu.

“Nanti yang saya bayarkan Rp 1,2 juta. Itu enggak sebulan, biasanya 24 hari harus lunas. Saya malu kalau orangnya datang, saya enggak bayar,” kata Risma Hidayah saat bercerita kepada banjarhits.com, Selasa (15/12/2020).

Meskipun berat, ia tetap saja pinjam duit ke rentenir beberapa kali karena terdesak kebutuhan ekonomi. Jika meleset saat ditagih, Risma memohon agar rentenir datang lagi kemudian hari. Risma sadar kehadiran rentenir ini semacam teror di tengah pendapatan warung yang tak menentu.

“Capek, malu pak. Memang rata-rata pedagang kecil kayak gitu, kasihan di sini,” ujar Risma Hidayah. Seraya masih pinjam duit ke rentenir, ia medapat tawaran pinjaman tanpa bunga pada akhir tahun 2019. Risma menerima informasi itu dari kawannya yang lebih dulu ikut keanggotaan Baitulmaal Wakaf Indonesia (BWI) Kabupaten Tabalong.

Tanpa pikir panjang, ia kepincut pola pinjaman yang ditawarkan BWI. Ia awalnya pinjam duit Rp 1 juta yang jangka waktu pengembaliannya enam bulan. Setiap pekan, Risma mencicil pokok pinjaman sebesar Rp 50 ribu tanpa bunga ke BWI.

“Jauh pak ai, nyaman di BWI. Pertama, BWI tidak mempermalukan. Sifatnya kesadaran diri, dan jangka waktu pengembaliannya enam bulan. BWI enggak ada bunga, dan enggak malu-maluin,” kata ibu seorang anak itu.

Risma baru menerima manfaat luar biasa dari pinjaman BWI ketika pandemi Covid-19. Sebab, pendapatan warungnya anjlok 50 persen lebih saat pandemi. Di luar masa pandemi, Risma mengantongi rata-rata Rp 250 ribu per hari dari berjualan makanan dan minuman. Namun, pendapatan itu menukik turun ke angka Rp 30 ribu - Rp 50 ribu setiap hari saat pandemi.

Ia membayangkan bagaimana sulitnya melunasi hutang pinjaman plus bunga ke rentenir di tengah pendapatan warung yang seret akibat pandemi. Sebelum ikut BWI, Risma mesti menyisihkan uang Rp 40 ribu untuk dibayarkan ke rentenir setiap hari.

Menurut Risma, BWI sejatinya tidak mewajibkan mitra binaan mencicil pokok pinjaman setiap pekan. Jadwal pembayaran cicilan fleksibel, sesuai kemampuan peminjam. Kalaupun ia kesulitan mencicil pokok pinjaman, Risma minta kelonggaran jadwal pembayaran tanpa harus diteror saban hari.

”Kalau bisa lebih cepat, Alhamdulillah. Kadang saya kalau ada lebih, saya tutupi dan setorkan. Karena buat teman-teman yang lain juga agar uangnya berputar,” ujarnya.

Selain itu, Risma turut iuran infaq, sedekah, dan menabung di BWI tanpa batasan nominal. Lewat infaq dan sedekah yang dibayarkan, Risma membantu anggota BWI lainnya. BWI memutar uang infaq dan sedekah untuk dipinjamkan ke anggota lain yang butuh dana segar dengan nominal maksimal Rp 1 juta.

Manfaat yang tak kalah penting dari tabungan. Jika belanja kebutuhan di BWI Mart, Risma membeli harga barang lebih murah ketimbang di toko-toko lain. Pembayarannya lewat saldo tabungan yang dipotong kasir. Adapun saldo minimal tabungan Rp 100 ribu untuk transaksi di BWI Mart.

“Kami sering dapat diskon, lumayan. Ada bonus-bonus sembako, jadi kami belanja di situ. Ibu-ibu itu semangat kalau dapat gitu-gitu. Mengapresiasi anggota jadi lebih semangat, kayak bayar listrik. Kalau sempat, saya juga ikut pengajian BWI,” ucapnya.

Nasib Risma mirip Sri Hartini (41 tahun). Sri dulu pernah terjerat pinjaman rentenir Rp 2 juta pada 2019, sebelum ikut BWI. Duit hutangan itu untuk modal usaha toko baju di Pasar Kapar, Kecamatan Murung Pudak. Sri harus mencicil Rp 400 ribu untuk hutang dan bunga pinjaman yang dibayarkan setiap bulan. Alhasil, Sri wajib menyisihkan duit Rp 4,8 juta selama 12 bulan untuk melunasi hutang ke rentenir.

Di tengah cicilan belum lunas, Sri ditawari temannya untuk bergabung ke BWI Tabalong pada akhir tahun 2019. Menurut Sri, kawan yang lebih dulu ikut BWI itu bilang siapa yang punya pinjaman ke rentenir, agar bergabung BWI.

“Siapa yang punya hutang di rentenir, nanti dibayari. Aku bilang ada, saya bilang hutang Rp 2 juta. Langsung dilunasi. Aku dan orang yang minjamin aku dipanggil juga, langsung dibayarin ke orang itu (rentenir, red),” ujar Sri Hartini.

BWI membantu pelunasan hutang pokoknya. Namun, Sri tetap wajib melunasi bunga hutang tersebut. Nantinya Sri mencicil pokok hutang ke BWI tanpa bunga.

Menurut dia, pinjaman BWI tanpa bunga sangat membantu pedagang kecil saat situasi ekonomi lokal yang sedang anjlok akibat pandemi. Sebelum pandemi, Sri meraup pendapatan Rp 200 - 300 ribu perhari. Namun, pendapatan itu menukik dihantam pandemi.

Paling banter, ia meraup Rp 100 ribu per hari saat pandemi. Dengan kondisi ini, Sri perlu pinjaman lunak tanpa bunga. Apalagi Sri sudah menutup lapak baju di Pasar Kapar mulai Juli 2020 akibat penjualan yang meredup. Ia kesulitan mencicil sewa toko Rp 350 ribu sebulan.

Kini, Sri berjualan baju online di rumahnya, daripada sewa toko Rp 350 ribu sebulan. “Penghasilan berkurang, kan Covid. Ekonomi lagi sulit. Saat pertama masuk BWI pinjam Rp 1 juta, bayarnya tetap Rp 1 juta bisa dicicil Rp 50 ribu per minggu,” ucap Sri.

Tak patah semangat, Sri turut menjual aneka plastik di lapak milik sendiri di Pasar Kampar. Hasil penjualan plastik pun paling kencang Rp 100 ribu sehari.

Selain bayar cicilan hutang, Sri menyisihkan duit untuk sedekah, infaq, dan tabungan setiap pekan dengan nominal seiklasnya. Dari saldo tabungan itu, Sri merasa dimudahkan ketika berbelanja atau bayar rekening listrik lewat BWI Mart. “Lebih murah di BWI Mart. Apalagi bisa dipotong dari tabungan,” ujar ibu dua orang anak itu.

Mendengar cerita Sri dan Risma, mitra binaan BWI lainnya, Tri Kusumawati jera pinjam duit lewat rentenir.Tri buka usaha warung kopi di dekat TPA Misbahul Munir, Desa Pangkalan RT 1 Gang Arjuna, Kelurahan Hikun, Kecamatan Murung Pudak. Berkali-kali ditawari rentenir pinjam uang, Tri menolaknya.

“Enggak berani pinjam, setiap hari ditagih. Ingin usaha apadanya saja, apalagi sekarang pendapatan turun akibat Covid. Pendapatan sekarang paling besar Rp 75 ribu sehari,” ucap wanita 47 tahun itu.

Kemudahan yang diberikan BWI tak membuat Tri kesulitan mencicil hutang pinjaman di tengah pendapatan warkopnya yang nyungsep saat pandemi. Dari pinjaman Rp 1 juta, Tri rutin mencicil Rp 50 ribu setiap pekan, plus infaq dan tabungan seiklasnya.

“Enggak ada ditagih. Kalau minggu ini engga bisa, saya minta minggu depannya bayar. Adanya BWI Alhamdulilah aman dan nyaman. Kalau pinjam ke rentenir, kami nyarikan untung rentenir saja,” tambah Tri.

Sri Hartini, Risma, dan Tri Kusumawati adalah contoh ibu-ibu pedagang di pelosok Provinsi Kalimantan Selatan, yang kesulitan akses keuangan perbankan. Sadar atas kesulitan ibu-ibu ini, Zulrifan Noor mendirikan Koperasi BWI Tabalong di Tanjung, Kecamatan Murung Pudak-- ibu kota Kabupaten Tabalong yang berjarak 225 kilometer dari Kota Banjarmasin.

BWI berdiri setelah Zulrifan melihat kisah pilu ibu penjual soto ayam. Saat makan soto, Zulrifan melihat rentenir menagih hutang ke ibu penjual soto. Karena baru sembuh dari sakit, ibu tadi kesulitan mencicil hutang ke rentenir.

“Pinjam Rp 1 juta, dapatnya Rp 900 ribu, ngembalikannya Rp 1,2 juta. Waktu pengembalian 1 bulan, jadi sehari Rp 40 ribu,” kata Zulrifan Noor saat ditemui banjarhits.com, Minggu (13/12/2020).

Kalaupun lagi ramai, ibu penjual soto mengantongi Rp 100 ribu sehari. Jika sepi, kadangkala cuma Rp 50 ribu. Menurut Zulrifan, 40 persen rata-rata penghasilan ibu penjual soto tadi untuk mencicil ke rentenir. Dari cerita ini, Zulrifaan berkonsultasi ke kawannya ihwal cara mengentaskan pedagang kecil dari jerat rentenir.

Solusinya lewat fundraising bernama sedekah produktif. Zulrifan mencontek programnnya Muhammad Yunus di Banglades: Grameen Bank. Dari sini, ia terpikir bikin majelis. “Itu ibu-ibu dibentuk kelompok, diberikan pinjaman dan pembinaan. Ya sudah, kami bikin seperti itu,” kata Zul-- begitu Zulrifan Noor disapa.

Setelah terbentuk Koperasi BWI Tabalong Pada 19 Desember 2019, Zulrifan menerima pinjaman dana wakaf dari Griya Wakaf Indonesia asal Jakarta senilai Rp 30 juta. Ia menyebutnya dana penghasil pengelola wakaf.

Ia lalu mencari ibu-ibu pedagang kecil di daerah merah -- sebutan kawasan rawan rentenir, seperti Kelurahan Hikun dan Pasar Kapar. BWI awalnya menghimpun 30 orang ibu-ibu pedagang, sekaligus dibentuk majelis pengajian pada Januari 2020. Menurut dia, syarat mendapat pinjaman harus ikut pengajian minimal 5 kali.

Beres pertemuan kelima, BWI baru membentuk kelompok untuk memastikan cicilan keanggotaan lancar. Ketua kelompok harus bisa menjamin anggotanya sanggup mencicil pokok pinjaman. Dari 30 orang, BWI membentuk 6 kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 5 orang.

“Masing-masing anggota dibatasi maksimal Rp 1 juta, disepekati pengembaliannya 10 bulan. Jadi setiap pengajian dicicil Rp 50 ribu. Jadi pinjam Rp 1 juta, dapat Rp 1 juta, dikembalikan Rp 1 juta juga,” kata eks Ketua HIPMI Tabalong periode 2015-2017 ini.

Pemberdayaan ibu-ibu saat pandemi Covid-19

Keanggotaan BWI makin gemuk saat pandemi. Dari semula cuma 30 orang, kini melonjak jadi 200 orang ibu-ibu. Ada penambahan 170 orang. Menurut Zul, omset bisnis 170 orang anggota baru ini anjlok sampai 70 persen.

Adapun 30-an orang dari 170 itu, kata Zul, gulung tikar usahanya akibat pandemi, ketiadaan tabungan, ditambah terjerat rentenir. Zul sadar ibu-ibu butuh pelatihan dan pemberdayaan kewirausahaan.

Saat pandemi, mitraa binaan dilatih bikin hand sanitazer, masker, dan obat herbal yang lagi potensial secara ekonomi saat Covid-19. Zul mengundang relawan dari HIPMI dan KADIN Tabalong yang sudi melatih. Pelatihan digelar sekali saban bulan.

“Namanya wakaf ilmu, biaya bahan pelatihan kami ambil dari sedekah ibu-ibu,” ujar Zulrifan. Saat pandemi, kebetulan Baznas Tabalong menyalurkan duit Rp 100 juta ke BWI Tabalong untuk kredit produktif. Zul lekas mengumpulkan ibu-ibu yang terjepit hutang di tengah bisnis yang merosot itu.

Kalaupun 50 persen mitra binaan macet pembayaran, maka BWI akan menyetop sementara pinjaman baru untuk mitra binaan yang lancar. Ia menyebut pola macam ini semi tanggung renteng.

“Kami sekedar mengingatkan,” kata dia. BWI akan menerapkan tanggung renteng pada 2021 seraya memperkuat loyalitas antar anggota. Untuk memupuk sikap tolong menolong, Zul menerapkan program beli produk sesama anggota.

Menurut Zul, hasil produksi mitra binaan disalurkan ke pemesan, sehingga menyeimbangkan hulu dan hilir rantai bisnis. BWI menggandeng beberapa perusahaan dan masyarakat untuk menyerap produksi ibu-ibu saat pandemi Covid-19. Misalnya, mereka memproduksi 1.700 masker setiap bulan, yang dikontrak sebuah perusahaan swasta selama periode Mei - September 2020.

Herbal juga dipasarkan lewat BWI Mart dan toko online. Pola ini, kata Zul, memastikan hasil produksi ibu-ibu diserap pasar, sehingga tidak kesulitan menjual di tengah situasi serba sulit saat pandemi.

Saat pandemi, Zul mencatat ada lonjakan kredit kepada ibu-ibu yang nilainya Rp 145 juta. Dari angka itu, Rp 100 juta sudah kembali, dan sisanya masih proses. Yang paling membanggakan, Zul merasa mitra binaan terbantu dan berdaya di tengah pandemi.

“Yang dulu punya hutang ke rentenir, sekarang berdaya. Kita juga beri subsidi sembako murah untuk anggota BWI,” kata dia. Dana subsidi berasal dari pengelolaan sedekah produktif, dan dana himpunan umum (fundraising) untuk mustahik.

Sampai bulan terakhir 2020 ini, ia bersyukur tidak ada mitra binaan gagal bayar cicilan, sekalipun ada pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Saat Ramadan, BWI menghentikan pembayaran cicilan karena ibu-ibu mitra binaan pasti banyak keperluan keluarga.

Zulrifan baru menggulirkan lagi pembayaran cicilan pasca Idul Fitri. BWI tidak memaksa mitra binaan harus bayar cicilan Rp 50 ribu setiap pekan. Jika kesulitan, kata dia, mitra binaan bisa minta kelonggaran waktu atau mencicil sebisanya.

“Jika enggak bisa sama sekali, kita doakan sama-sama. Alhamdulilah sampai sekarang 0 persen,” kata pria usia 30 tahun itu.

Spiritualitas dan tolong menolong

Sore menjelang magrib pada Jumat (18/12/2020), sepuluh ibu-ibu meriung di rumah Kamsinor, Ketua Kelompok Jangkung binaan BWI Tabalong. Mereka pengajian rutin di bawah bimbingan Zulrifan. Selama pengajian, Zulrifan telaten menyisipkan siraman spiritual amal jamai dan persaudaraan.

Pengajian ini asupan sisipan selain pemberdayaan ibu-ibu. Zul memperhatikan betul urusan akhirat mitra binaan. Pada 2021, ia akan menggalang dana tolong menolong kematian. Setiap anggota akan diwajibkan menyumbang Rp 20 ribu jika ada sesama anggota yang wafat.

Menurut Zul, jika setiap anggota urunan Rp 20 ribu, maka terhimpun dana kematian Rp 4 juta, dengan asumsi keanggotaan BWI 200 orang. Dana ini bisa dipakai meringankan beban hutang keluarga almarhum. Sisanya untuk ahli waris dan diwakafkan.

Zul berkata sentuhan spiritual menguatkan kekompakan anggota kelompok. Sifat ini dibentuk lewat pengajian yang rutin digelar. Dari satu jam pengajian, kata Zul, 30 menit diisi ruhiyah,zikir, dan baca yasin. Kemudian 30 menit sisanya untuk muamalah.

Zul sadar pandemi Covid-19 memukul mayoritas binis mitra binaan. Oleh sebab itu, Zul tidak paksa anggota mencicil Rp 50 ribu setiap pekan. Namun semampu anggota, seraya saling mendoakan agar diberi kelancaran.

“Kita lihat kalau sudah di atas 50 persen, kita warning ke anggota sudah beberapa orang terlambat, tolong dibantu, diingatkan. Apakah usahanya memang susah, harus dicek ketua kelompok. Kalau ada anggota sakit, kita ya fundraisingkan, kita bantu sesama anggota,” kata Zulrifan.

The Power of Emak-emak

BWI Tabalong cuma menerima keanggotan dari ibu-ibu karena gampang diajak kumpul. Kalau laki-laki, kata Zul, susah dikumpulkan. Apalagi ibu-ibu mengelola keuangan keluarga. “Suami cuma nyari duitnya. Lebih potensial ibu-ibu kita bina, yang terjerat rentenir banyak ibu-ibu karena dia yang kelola uang,” kata Zul.

Selain itu, ibu-ibu bukan kepala keluarga sehingga diharapkan optimal membantu perekonomian keluarga. Zul tidak neko-neko menerima calon mitra binaan BWI, asalkan wanita yang punya usaha halal. Sebab, anggota BWI tetap berkewajiban membayar cicilan hutang, seraya bersedekah.

Zul siap menutup pokok hutang ibu-ibu ke rentenir, asalkan masih di bawah Rp 5 juta, seperti nasib Sri Hartini. Setelah pokok hutang dilunasi BWI, Zul minta Sri berjanji tidak lagi berhutang ke rentenir karena BWI ingin memberdayakan lewat pembinaan.

Kalaupun harus nagih cicilan ke ibu-ibu, Zul meminta tenaga penagihan BWI bersikap sabar dan ramah. “Kalau enggak bisa bayar, kita doakan sama-sama. Meskipun beliau macet, jangan sampai kita mencela beliau, jangan mempermalukan di depan orang. Kuncinya santun,” kata Zul.

Ia percaya pola santun akan membentuk jati diri positif BWI di mata ibu-ibu. Tahun ketiga pada 2022, Zul berharap 200 anggota BWI terbebas dari jerat hutang. Caranya, Zul akan mengoptimalkan tabungan dan sedekah enam kelompok yang saat ini nilainya sudah Rp 45 juta. Angka itu terdiri dari tabungan Rp 15 juta dan sedekah Rp 30 juta.

Setiap kelompok nantinya bisa memutar duit tersebut. Selama ini, dana yang didistribusikan ke 200 ibu-ibu itu berasal dari BWI dan Baznas Tabalong senilai Rp 100 juta. “Ini dana abadi, sehingga diputar untuk kebutuhan mitra binaan BWI,” ucap Zul.

Tujuannya, Zul berharap ibu-ibu tidak punya hutang lagi, bahkan jadi donatur. “Membantu saudara yang lain, itu kuncinya,” kata Zulrifan.

Gerai BWI Mart juga aktif menyalurkan beras ke pondok pesantren dan Griya Tahfidz dengan 50 orang santri. Setiap bulan, kata Zul, BWI memberi 5 kilogram beras ke setiap santri khusus penghafal Alquran. “Fokus kami ke pendidikan juga,” kata Zulrifan.

Kini, BWI Tabalong mengelola dana Rp 454 juta yang diinvestasikan ke bisnis toko sembako, pembayaran rekening tagihan, ekspedisi, dan konveksi. Untuk ekspedisi, BWI berstatus multi agen dari ekspedisi lain yang sudah berdiri.

Zul berencana mengembangkan sayap bisnis BWI ke properti. “Jangka panjangnya properti. Untuk tanah wakaf yang terbengkalai kita bikinkan properti,” kata Zul.

Zulrifan Noor pegang piala SATU Indonesia Award 2020 ditemui di rumahnya. Foto: banjarhits.com

Serangkaian ikhtiar pemberdayaan ibu-ibu ala BWI Tabalong bikin kepincut PT Astra International Tbk. Zulrifan Noor diganjar penghargaan SATU Indonesia Awards 2020 kategori khusus pejuang tanpa pamrih di masa pandemi Covid-19. Menurut Zul, Astra tertarik pola saling bantu antar ibu-ibu lewat sedekah dan tabungan.

Zul menonjolkan program pemberdayaan mitra binaan dari hulu ke hilir. “Mereka bikin, kami beli. Akhirnya uangnya berputar lagi, jadi sedekah, tabungan,” kata Zulrifan.

Konsep dana yang dikelola BWI Tabalong adalah dana abadi yang tidak pernah berkurang atau hilang. Pihaknya terus berkomitmen mengelola dana wakaf, zakat, infaq, dan sedekah produktif, karena dana ini untuk misi sosial dan pemberdayaan.

“Endingnya nanti mustahik ini jadi muzakki yang baru, mereka berzakat dan bersedekah. Ke depan, kami ingin bangun komunitas wirausaha. Target kami nantinya 5.000 UMKM. Selain berwakaf, mereka akan kelola dana wakaf ini,” tutup Zul. (Diananta)

Sumber: banjarhits.com

Lebih baru Lebih lama


Paman Birin Sumpah Pemuda
Iklan

نموذج الاتصال