Dalam beberapa waktu terakhir ini adalah yang menarik dicermati dari sejumlah media lokal memberitakan mengenai gugat-menggugat para kandidat penguasa daerah.
Misalnya kandidat wakil Walikota Banjarbaru Wartono menggugat atau melaporkan kandidat Walikota Banjarbaru Aditya Mufti Ariffin ke Bawaslu mengenai indikasi penyalah gunaan kekuasaan dengan kebijakan bermuatan politik beraroma populis untuk kepentingan elektoral.
Laporan Wartono ke Bawaslu itu direspon secara serius dengan beberapa fakta atau temuan mengenai penyalah gunaan kekuasaan menjadi landasan bagi Bawaslu membatalkan pasangan Aditya sebagai kandidat Walikota Banjarbaru.
Kini, giliran kandidat Bupati Banjar Saefullah Tamliha melaporkan petahana Saidi Mansur sebagai rival politik ke Bawaslu.
Manuver politik Saifullah Tamliha yang melaporkan rival politiknya itu ke Bawaslu seperti mengikuti langkah politik Wartono untuk membatalkan pencalonan Saidi Mansur sebagai kandidat Bupati Banjar.
Sayangnya, laporan Saifullah Tamliha tidak semulus langkah Wartono karena tidak diterima dan kandas di tangan Bawaslu.
Alasannya, laporan itu tidak cukup bukti, data fakta untuk membatalkan pencalonan Saidi Mansur seperti halnya Aditya Mufti Ariffin.
Langkah politik Saifullah Tamliha mengikuti jejak pasangan Erna Lisa Halabi – Wartono membuat tersungkur pasangan Aditya rupanya tidak mulus dengan alasan kurang alat bukti menurut logika Bawaslu.
Ketegangan politik pada kasus Kota Banjarbaru dan Kabupaten Banjar ada hal menarik perlu dicermati secara Sosio politik.
Ada kesan kuat dan mengundang komentar publik bahwa Bawaslu sebagai pengawas pemilu telah mengambil sikap standar ganda.
Sikap standar ganda itu dapat dicermati dari keputusan Bawaslu membatalkan pencalonan pasangan Aditya dengan argumen bahwa cukup bukti kuat telah terjadi pelanggaran pemilu.
Sementara pada pasangan Saidi Mansur tidak cukup bukti kuat untuk membatalkan pencalonan sebagai kandidat Bupati Banjar.
Bawaslu sebagai bagian dari rezim penyelenggara pemilu memiliki justifikasi, logika dan argumentasi, juga subyektifitas.
Interpretasi argumen, logika, dan otoritas itu yang paling paham dan memaknai fakta itu adalah lembaga atau rezim pengawas pemilu itu.
Namun demikian, publik juga punya logika dan argumen untuk mengkritisi sikap ambivalensi dan standar ganda dari rezim pengawas pemilu itu.
Oleh karena itu, logika dan narasi publik perlu juga dipahami sebagai bagian dari proses demokrasi.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan atau daulat rakyat, rezim penyelenggara dan pengawas pemilu perlu juga mempertimbangkan kritisisme publik praktik demokrasi.
Partisipasi dan kontrol publik untuk menciptakan kualitas demokrasi.
Penyelenggara dan pengawas pemilu perlu melibatkan partisipasi publik untuk membangun kualitas demokrasi berkualitas dan bermanfaat.
Penyelenggara (KPU) dan pengawas (Bawaslu), kedua lembaga ini jangan sampai diintervensi dan didikte oleh kepentingan pemilik modal, para cukong politik atau mafia Pilkada sehingga tidak netral lagi karena terafiliasi kepada pentingan para oligarki.
Dinamika politik pada kasus Kota Banjarbaru dan Kabupaten Banjar sebagai dinamika menjadi fenomena politik menarik dicermati.
Mengapa gugatan politik itu muncul disaat menjelang pesta demokrasi 27 November? Ada apa dibalik itu semua semua? Adakah tanda -tanda atau sinyal politik bagi para penggugat di dua waliyah itu sebagai indikasi kekalahan sehingga perlu membuat tsunami politik lawan politik.
Biarlah publik menjawab pernyataan nyeleneh ini.
Penulis,
M Uhaib Asad
Akademisi FISIP Universitas Islam Kalimantan Arsyad Al-Banjari