Pembatalan pasangan calon atau paslon Walikota Banjarbaru nomor urut 2 Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah oleh KPU tidak sah. Keputusan itu patut diduga sebagai upaya rekayasa untuk memaksakan pilkada Kota Banjarbaru hanya diikuti paslon tunggal.
Sebagaimana diketahui, pilkada Kota Banjarbaru di Provinsi Kalimantan Selatan diikuti oleh dua paslon. Tetapi tiba-tiba saja KPU mengumumkan bahwa paslon nomor urut 2 didiskualifikasi karena adanya rekomendasi dari Bawaslu yang pada pokoknya menuding calon atas nama Aditya Mufti Ariffin memanfaatkan program pemerintah daerah untuk kepentingan pencalonan dirinya di pilkada.
Tuduhan itu jelas tidak benar. Saya mencium ada aroma rekayasa yang sepertinya sudah dirancang secara matang oleh pihak-pihak tertentu untuk membatalkan pencalonan Adit. Targetnya tidak lain agar pilkada Kota Banjarbaru hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja. Upaya penjegalan ini bahkan sudah diupayakan sejak tahap awal pencalonan.
Aditya ini memang masih menjabat sebagai Walikota Banjarbaru dengan status cuti di masa kampanye. Dia maju kembali di pilkada 2024 untuk periode kedua. Nah, posisinya sebagai petahana inilah yang coba dicari-cari kesalahannya.
Sebagai partai pengusung pasangan Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah, Partai Buruh jelas tidak terima dengan skenario jahat semacam itu. Kami akan lawan pihak mana pun yang bermain tidak fair di Pilkada. Aditya adalah produk dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 yang diajukan Partai Buruh. Dia bisa ikut pilkada karena putusan MK menurunkan syarat ambang batas pencalonan.
Kasus pilkada Kota Banjarbaru ini menurut saya penting untuk mendapatkan perhatian luas dari masyarakat yang sudah muak dengan upaya memaksakan calon tunggal melalui cara-cara politik yang kotor.
Keputusan KPU Banjarbaru mendiskualifikasi paslon nomor 2 berdasarkan rekomendasi Bawaslu harus dilawan karena prosesnya tidak benar dan sarat dengan muslihat. Ada banyak sekali pelanggaran hukum dan pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, termasuk KPU dan Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan.
Kesalahan terbesar Penyelengara Pemilu pada kasus ini adalah karena secara semberono memvonis Aditya dengan menggunakan dasar hukum Pasal 71 ayat (3) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Pasal 71 ayat (3) berbunyi: “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon terpilih.”
Adapun Pasal 71 ayat (5) berbunyi: “Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU kabupaten/Kota.”
Apabila dibaca secara teliti dengan kaca mata hukum, maka kedua norma itu pada pokoknya mengatur adanya larangan menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan bagi kepala daerah yang bertujuan menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Apabila kepala daerah yang melanggar larangan tersebut berstatus sebagai calon atau petahana, maka kepadanya dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU.
Nah, pada kasus Aditya, peristiwa yang dituduhkan calon lawannya selaku pihak pelapor, terjadi sebelum ada pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. Kalau begitu ceritanya, maka Pasal 73 ayat (3) tidak bisa dikenakan kepada Aditya selaku Walikota Banjarbaru karena pada saat itu belum ada pasangan calon. Aditya belum menjadi calon, lawannya pun belum menjadi calon.
Jadi, pasangan calon mana yang diuntungkan atau dirugikan oleh kebijakan Aditya selaku Walikota pada saat itu? Kan tidak ada. Program pemerintah daerah tentu tidak boleh distop hanya karena ada pilkada. Kalau Aditya mengentikan program pemda yang menjadi tanggung jawabnya, maka justru dia salah karena hal itu dapat menyebabkan hak dan kepentingan rakyat menjadi dirugikan.
Oleh karena pada saat peristiwa yang dituduhkan Aditya belum menjadi calon dan belum pula ada calon yang lain, maka unsur “menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) menjadi tidak terpenuhi.
Implikasi atas tidak terpenuhinya unsur-unsur didalam ketentuan Pasal 73 ayat (3), maka konsekuensi hukumnya Aditya tidak bisa dijerat sanksi pembatalan sebagai calon sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada. Oleh sebab itu, demi hukum statusnya sebagai calon Walikota Banjarbaru harus dipulihkan kembali oleh KPU.
Terkait kasus ini Partai Buruh masih terus melakukan koordinasi dengan paslon nomor urut 2 dan partai-partai politik pengusung lainnya guna mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan, termasuk memproses anggota KPU dan Bawaslu Kota Banjarbaru dan anggota KPU dan Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan ke Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP).
Sebagai penyusun Peraturan Kode Etik Penyelenggara Pemilu saya yakin sekali para penyelenggara pemilu di Kota Banjarbaru dan Provinsi Kalimantan Selatan akan dipecat oleh DKPP. Kami juga akan bongkar aktor-aktor lain yang terlibat dalam kasus rekayasa ini.
SAID SALAHUDIN
Ketua Tim Pilkada Pusat
Partai Buruh