Noor Wahidah salah satu wanita Paru Baya yang sebelumnya di beritakan di Penjara Polsek Stagen karena di anggap melakukan Penyerobotan Lahan di Desa Sebelimbingan Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan, hari ini Minggu (12/01/2025) telah bebas dari Lapas Martapura setelah menjalani hukuman 10 bulan lamanya. Pada kebebasannya, Wahidah nampak dijemput anaknya Fahrul Rozi dan Moh. Arief Safe'i, S.H. selaku Tim Hukum BASA.
Wahidah sebelumnya dilaporkan oleh Tjiu Johni Eko alias Utuh Laris, salah satu konglomerat di Kabupaten Kotabaru dengan Laporan Pasal 385 KUHP tentang Penyerobotan Lahan.
Tim Hukum BASA yang menerima kuasa semenjak banding di Pengadilan Tinggi Banjarmasin telah berupaya maksimal hingga mempertahankan argumentasi hukum di Hadapan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui memori Kasasinya. Namun keyakinan tim hukum yang mengawal perkara awal meyakini masih adanya keadilan di Pengadilan Mahkamah Agung ternyata harus pupus setelah Wahidah divonis bersalah dengan pertimbangan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kotabaru.
Melalui Kuasa Hukum diketahui bahwa Wahidah akan melakukan langkah Peninjauan Kembali (PK) dalam waktu dekat, karena terdapat 57 bukti baru yang tidak pernah dijadikan alat bukti sejak peradilan tingkat pertama oleh kuasa pertamanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun awak media ini, Wahidah telah mempersiapkan 6 saksi pemegang 6 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang ditumpangi SHMnya Tjiu Johni Eko untuk PK nanti.
Badrul Ain Sanusi Al-Afif, S.H., M.H. selaku pimpinan tertinggi BASA dan REKAN, ketika disinggung langkah hukum berikutnya mengatakan kepada wartawan,"Kami tidak hanya sampai disini saja, melihat ketidakadilan dan ketidakbenaran dalam Putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan dibawahnya, kami akan Ajukan Peninjauan Kembali terhadap Perkara Noor Wahidah ini, ada 57 Novum atau bukti baru nanti yang sudah kami persiapkan untuk dijadikan dasar bukti kebenaran kepemilikan wahidah dan kelemahan lawan."
"Jika dibiarkan maka putusan tersebut tidak hanya merugikan Wahidah saja, tapi merugikan warga sekitar yang telah membangun rumah, warung bahkan merugikan warga yang memiliki tanah dilengkapi 6 Sertifikat Hak Milik sebelum terjadinya pengembalian batas oleh Tjiu Johni itu tahun 2014. Kami masih optimis kebenaran suatu waktu akan terungkap dan kebenaran akan mengejar kebohongan yang berlari meskipun secepat kilat," ucap Badrul.
"Kami tidak hanya memperjuangkan Peninjauannya ibu Wahidah, tetapi kami juga akan menggugat secara Perdata bahkan juga Peradilan Tata Usaha Negara melalui masyarakat yang punya SHM ditanah sengketa, fenomena ini merupakan momok besar dimana sebagian besar masyarakat kurang mempercayai tentang keadilan lagi, tentu kami akan membela warga terdampak akibat Pengembalian Batas 2014 oleh oknum BPN sampai keadilan itu benar benar ada," tutup Badrul.
M. Hafidz Halim, S.H. salah satu anggota BASA dan Rekan, saat di tempat bersamaan mengatakan, "Sungguh naif memang dalam Normatif Hukum yaitu terkait mensrea (niat jahat) menurut kami tidak bisa dibebankan kepada Wahidah terhadap Pasal 385KUHP, namun janggalnya tetap dipaksakan terkait pidana Penyerobotan lahan, sementara Wahidah jelas memiliki tanah lebih lama tahun 1973 milik Alm. Murah bibinya berdasarkan alas hak Surat Tanah dan turun temurun bahkan di tahun 2013 ia telah menjual tanah kepada orang lain selanjutnya juga dibuat kan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT) di ketahui Kepala Desa dan Camat, sementara pelapor baru membeli dan melakukan pengembalian batas pada tahun 2014, itupun tanpa melibatkan pemilik SHM yang ada di antara tanah itu, sehingga terjadi Tumpang Tindih."
"Apalagi di persambitan tanah Wahidah itu terdapat 6 SHM warga, juga ada jalan Raya, aneh memang jika harus perkara ini dipaksakan bahwa Wahidah yang harus bersalah. Tentu dampak sepertinya membuat kami terpanggil untuk melawan," tutup Halim.