![]() |
Parade Tatung melintas di Jalan Firdaus, saat puncak Festival Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, pada Rabu (12/2/2025). Foto: Diananta P. Sumedi/Banjarhits |
Banjarhits.co, Singkawang - Ribuan manusia memadati area kantor Wali Kota Singkawang, Kalimantan Barat, ketika hari masih pagi, Rabu, 12 Februari 2025. Mengenakan berbagai atribut kostum, barisan manusia dalam parade ritual Tatung, mengular sepanjang Jalan Aliayang. Gemuruh suara alat musik pengiring Tatung saling sahut, sambil menunggu puncak Festival Cap Go Meh dibuka oleh Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, yang hari itu hadir langsung di Singkawang.
Di panggung utama, Gibran membuka parade Tatung dengan
menabuh Loku, gendang yang terbuat dari kulit: “Dum, dum, dum, dum.” Suara itu
penanda bahwa satu per satu atraksi ritual Tatung mulai bergerak dari Jalan
Alianyang, menuju ke Jalan Firdaus, melintasi panggung utama di depan kantor
Wali Kota Singkawang, sampai ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya di pusat Kota
Singkawang.
Aroma asap dupa mengiringi langkah peserta yang menampilkan
ragam kostum Tionghoa sembari memukul-mukul loku, lo (piringan kuningan), dan
chem (simbal). Dalam satu kelompok Tatung, mereka berbagi peran: asisten
Tatung, pembawa bendera, pemain musik, pemikul tandu, dan peniup peluit. Adapun
sosok Tatung berada di atas tandu, dengan mulut dan pipi kanan-kiri ditusuk
jarum baja sebesar ruji roda sepeda motor.
Tatung-tatung itu membawa aneka atribut senjata dalam cerita
silat, seperti pedang, tongkat, parang, dan tombak. Untuk membuktikan kesaktian perwujudan dewa,
kedua kaki Tatung ditempelkan di atas tajamnya parang yang dipasang di tandu. Tatung
pembawa atribut senjata ini menggambarkan ia sebagai perwujudan dewa perang.
Pagi itu, tidak semua peserta menandu Tatung. Sebagian kelompok menandu sin kiaw atau rumah dewa berukir khas Tionghoa, dan atraksi replika naga yang meliuk-liuk. Rumah dewa ini berisi patung dewa, lukisan, altar persembahan, bendera, dan dupa. Mereka menandu sin kiaw sembari digoyang-goyang. Meskipun rumah dewa ini beratnya mencapai ratusan kilogram, mereka menjaga rumah dewa tidak jatuh ketika goyangan makin kencang.
![]() |
Etnis Dayak ikut meramaikan parade Tatung saat puncak Festival Cap Go Meh di Kota Singkawang, pada Rabu (12/2/2025). Foto: Diananta P. Sumedi/Banjarhits |
Selain bertema Tionghoa, iring-iringan peserta dari latar budaya Dayak, turut meramaikan parade Tatung. Namun, mereka tidak menampilkan atraksi Tatung karena budaya Dayak tidak mengenal Tatung. Penampilan etnis budaya lain meneguhkan simbol bahwa Singkawang sebagai kota paling toleran di Indonesia.
Kelompok dari Komunitas Pecinta Budaya Dayak Kota
Singkawang, misalnya. Dalam parade Cap Go Meh 2025 Kota Singkawang, mereka
menampilkan atraksi dan pernak-pernik etnis budaya Dayak, seperti mandau,
kostum Dayak, dan kalung tengkorak yang menjuntai. Sebagian di antara mereka
menganyun-ayunkan Mandau diiringi alunan musik khas Dayak untuk menguatkan
atraksi identitas budaya.
Etnis Tionghoa percaya bahwa parade Tatung untuk mengusir
energi dan roh jahat di lingkungan setempat. “Ada yang dibacok kebal, ini
membuktikan dewa telah hadir. Ini untuk keselamatan umat, sejahtera dan tentram.
Jadi jauh dari gangguan malapetaka, bencana, dan maklus halus,” kata budayawan
Tionghoa di Kota Singkawang, Dji Sye Lim, Rabu, 12 Februari 2025.
Menurut dia, sejarah Tatung dikenal sejak Dinasti Tang yang
memerintah Kekaisaran Tiongkok pada 618-907 Masehi. Tatung dipakai sebagai
medium komunikasi dewa dan etnis Tionghoa di Tiongkok. Adapun anak-anak difabel
dengan cacat satu kaki dipilih sebagai medium perantara dewa karena masih polos
dan belum akil baliq.
“Anak-anak dianggap masih bersih, dan jadi perantara antara
dewa dan manusia,” lanjut Dji Sye Lim.
Sosok Tatung turut menggenggam lonceng dan sim phui atau alat media komunikasi kepada roh. Lonceng dipakai saat Tatung memanggil roh, sekaligus penanda tubuh Tatung telah kerasukan.
“Kadang bunyi lonceng semakin kuat. Apabila sim
phui keduanya terbuka berarti roh sedang tertawa. Bila keduanya tertutup
berarti larangan,” kata Frino Bariarcianus Barus, penulis dan seniman lokal
Singkawang Art Laboratory, dalam buku saku Cap Go Meh Singkawang.
“Seorang Tatung biasanya mencoba lebih dari satu kali ritual
sim phui,” tambah Frino.
Ragam atraksi budaya itu dalam rangkaian puncak Festival Cap
Go Meh tahun 2025 dan perayaan Imlek 2576, pada pada Rabu, 12 Februari 2025.
Festival ini bentuk keberagaman dan toleransi yang terus dirawat di Kota
Singkawang.
![]() |
Jarum seukuran ruji roda sepeda motor menusuk pipi kakan-kiri dan mulut seorang Tatung saat Festival Cap Go Meh di Singkawang, Rabu (12/2/2025). Foto: Darius Tarigan/TVRI |
Menurut Ketua Panitia Perayaan Imlek 2576 dan Festival Cap Go Meh 2025 Kota Singkawang, Bun Chin Thong, Festival Cap Go Meh sebagai bentuk kebersamaan dari berbagai etnis dan budaya di Kota Singkawang. Bun berkata Singkawang dikenal kota dengan toleransi tinggi di Indonesia. “Berbagai suku dan agama bersatu dalam perayaan ini,” ucap Bun Chin Thong kepada wartawan rombongan dari pelatihan Australia Broadcasting Corporation International Development, Rabu, 12 Februari 2025.
Ia menjelaskan Cap Go Meh bagian dari perayaan Imlek, yang berlangsung selama 15 hari dan ditutup oleh festival ini. Tradisi Cap Go Meh telah diwariskan secara turun-temurun di Singkawang dan daerah sekitarnya. Selain sebagai perayaan, festival ini juga menjadi bentuk penghormatan terhadap para dewa kepercayaan etnis Tionghoa.
"Karnaval Tatung diikuti 746 peserta yang berasal dari dalam dan luar Kota Singkawang," katanya.
Adapun Utusan Khusus Presiden Bidang Pariwisata, Zita Anjani,
mengatakan Festival Cap Go Meh momentum pelestarian tradisi, serta simbol kerukunan
dan toleransi antar umat beragama. Menurut Zita, kehadiran Wapres Gibran di Kota Singkawang bentuk
komitmen pemerintah dalam mendukung keberagaman budaya dan persatuan bangsa.
“Saya takjub melihat Festival Cap Go Meh yang luar biasa di Singkawang. Festival ini mampu menghadirkan ratusan ribu wisatawan dan memberikan kontribusi nyata bagi pendapatan daerah,” kata Zita Anjani. Ia mendorong optimalisasi pengelolaan potensi wisata lokal supaya berdampak positif terhadap perekonomian daerah. (Diananta Putra Sumedi)